Komitmen Organisasi & Stres Kerja

by 09.24 2 komentar


HUBUNGAN ANTARA KOMITMEN ORGANISASIONAL
DENGAN STRES KERJA
PADA KARYAWAN WAROENG "SS"

Bambang Susilo
Muslimah Zahro Romas
Riang Gumanti

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45
YOGYAKARTA




Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara komitmen organisasional dengan stres kerja pada karyawan waoeng “SS”. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam peneltian ini skala komitmen organisasional dan skala stress kerja.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan teknik korelasi product moment dengan program sistem komputasi Statistical Package for Social Science (SPSS Ver 15.0 for Windows).
Hasil analisis mengunakan korelasi product moment menunjukkan bahwa besarnya koefisien korelasi antara kedua variabel adalah r = -0,301 dengan (p) = 0,003 (p<0 span="">Dapat disimpulkan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara komitmen organisasional dengan stress kerja. yaitu semakin tinggi komitmen organisasional, maka semakin rendah stres kerja begitu pula sebaliknya. Hal ini berarti komitmen organisasional mampu menurunkan stres kerja pada karyawan.

PENDAHULUAN

Persaingan industri yang semakin tinggi menuntut organisasi profit dan non profit untuk dapat bertahan, bukan sekedar bertahan bahkan harus mampu melakukan inovasi-inovasi yang mampu mengembangkan organisasi untuk terus eksis. Pada organisasi profit terutama dituntut untuk mampu melakukan strategi yang agresif untuk terus dapat meraih keuntungan sehingga bertahan dalam pasar industri tersebut. Khusus industri dalam bidang kuliner dihadapkan pada kenyataan bahwa semakin usaha tersebut mempunyai ke khas-an, unik dan cita rasa yang beda maka semakin mempunyai nilai jual lebih tinggi. Banyak pengusaha- pengusaha kuliner di Indonesia berlomba-lomba membuat suatu konsep yang lebih menarik agar dapat bertahan di persaingan pasar yang lebih kompetitif ini.

Dalam rangka mempertahankan eksistensi organisasi dalam industri kuliner ini maka perlu diadakan perubahan dalam organisasi tersebut. Perubahan-perubahan yang dilakukan dalam organisasi seringkali dilakukan secara radikal terkait tuntutan organisasi yang harus mampu bertahan dan tetap meraih keuntungan yang besar sehingga hal ini dipandang sebagai faktor yang bertanggung jawab atas terjadinya peningkatan stres kerja pada karyawan. Menurut pendapat A. Sobirin (2005), bahwa dampak perubahan organisasi dalam jangka pendek dapat menyebabkan meningkatnya tingkat kekhawatiran karyawan, karyawan cenderung mempunyai pandangan negatif terhadap perusahaan, meningkatnya stress, meningkatnya ketidak puasan kerja.  

Peningkatan stres kerja dapat menyebabkan organisasi tidak berjalan sebagaimana mestinya, ini akan berdampak pada kestabilan organisasi bahkan produktifitas organisasi. Perubahan dalam organisasi belum memberi jaminan bahwa perusahaan bisa mencapai tujuannya secara efektif jika resistensi dari karyawan untuk melakukan perubahan sangat tinggi (Cartwright and Cooper, 1993). Hal ini menunjukkan bahwa adanya stress kerja merupakan bagian dari resistensi, sehingga bila tidak ditangani maka akan berdampak pada organisasi. Adapun gejala-gejala stress kerja yang ditunjukkan oleh individu menurut Robbins (1998) antara lain berupa gejala fisiologis, gejala psikologis dan gejala perilaku.
Gejala fisiologis meliputi perubahan dalam metabolisme, misalnya peningkatan detak jantung, pernapasan, sakit kepala, dan serangan jantung serta berbagai gejala fisiologis yang berbeda antara individu satu dengan yang lainnya; gejalapsikologis ditandai dengan timbulnya ketidakpuasan kerja, ketegangan, kecemasan, mudah marah, kebosanan, dan perilaku suka menunda pekerjaan; gejala perilaku, meliputi menurunnya produktivitas, meningkatnya absensi dan turnover, perubahan kebiasaan makan, meningkatnya konsumsi rokok dan alkohol, bicara terlalu cepat, gelisah, dan gangguan tidur. Semakin individu memperlihatkan penguatan gejala-gejala tersebut maka mengindikasikan semakin tingginya tingkat stres kerja yang dialami individu bersangkutan.

Berkaitan dengan konteks penelitian, gejala-gejala serupa juga ditangkap peneliti dalam perbincangan dengan salah seorang karyawan serta dengan seorang staff personalia sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kuliner yaitu Waroeng Spesial Sambal (SS) yang berpusat di Yogyakarta. Responden tersebut menyatakan bahwa, keluhan-keluhan diantara rekan-rekan sekerja yang umumnya berupa ketidakpuasan dengan perusahaan tersebut seringkali muncul dalam perbincangan sehari-hari. Dari hasil wawancara peneliti dengan seorang staff personalia Waroeng Spesial Sambal (SS) juga didapatkan gejala - gejala yang muncul yaitu penggunaan alkohol pada karyawan selepas kerja, perubahan kebiasaan makan dan tidur. Peneliti menemukan beberapa hal yang mungkin mempengaruhi hal tersebut, antara lain disebabkan oleh karena karyawan bekerja dalam lingkungan kerja yang dengan waktu kerja yang panjang (long Shift), ataupun hal-hal yang berkaitan dengan upah dan ketidakjelasan karir serta stuktur organisasi perusahaan, karena sebagian besar karyawan dipekerjakan tanpa adanya perjanjian kontrak kerja.
Stres kerja sesungguhnya bukan merupakan tema baru dalam perbincangan berkaitan dengan hubungan industri dan organisasi. Sekitar satu dekade sebelumnya, yakni pada tahun 1992, Perserikatan Bangsa - bangsa ( PBB ) mengidentifikasikan stres kerja sebagai penyakit abad ke-20 dan beberapa tahun kemudian WHO menyatakan stres kerja telah menjadi "Wabah Seluruh Dunia" (Sauter dkk., 2000). Batasan di atas tidak secara mutlak memaknai stres kerja sebagai suatu hal yang mengandung sifat negatif seperti secara umum dipahami oleh kebanyakan orang saat ini. Adanya stres dapat pula bermanfaat untuk meningkatkan perforserta mengaktifkan kesadaran individu akan suatu permasalahan sehingga mendorong individu berusaha mencari cara dalam rangka melepaskan diri dari kondisi yang tidak nyaman (Quick dalam Carrel, Jennings, & Heavrin, 1997).
Stres kerja dalam kenyataannya telah menjangkit pada hampir seluruh individu yang terlibat di lingkungan kerja dari semua tingkatan, baik manajer maupun pekerja keduanya kurang lebih merasakan tingkat stres yang setara (Davis, 1977).  Berkaitan dengan uraian mengenai stres kerja di atas, peneliti menengarai variabel komitmen organisasional merupakan salah satu variabel yang memiliki hubungan dengan stres kerja pada individu. Peneliti berpandangan bahwa, komitmen organisasional dapat mempengaruhi terbentuknya penguatan stresor individual maupun stresor kelompok yang pada tahap selanjutnya akan berkaitan pula dengan tinggi rendahnya stres kerja yang dialami oleh individu.
Komitmen organisasional adalah suatu sikap yang ditunjukkan dengan seberapa luas seseorang terlibat dengan organisasi dan tidak berkeinginan untuk meninggalkannya (Carrel, Jenning, & Heavrin, 1997), tidak jauh berbeda dengan definisi diatas, Mowday, Porter, & Steers (Carrel, Jenning, & Heavrin, 1997), membatasi komitmen organisasional sebagai suatu kekuatan yang bersifat relatif dan individu dalam mengidentiflkasikan dirinya dengan organisasi dan terlibat di dalamnya.
Dalam penelitiannya, Kobasa (dalam Luthans, 2001) menyatakan bahwa, komitmen merupakan salah satu indikator yang menunjukkan adanya suatu daya tahan psikologis individu terhadap stres kerja. Dengan demikian, tinggi rendahnya komitmen organisasional dalam diri individu menurut peneliti juga mengindikasikan sejauh mana daya tahan psikologis individu bersangkutan terhadap stres kerja. Individu dengan komitmen organisasional tinggi relatif lebih mampu beradaptasi (Angle & Perry; Bateman & Stresser; dalam Muchinsky, 1993), sehingga memungkinkan individu tersebut untuk mengembangkan perilaku yang lebih akomodatif dalam merespon tekanan-tekanan di lingkungan kerja yang dapat membahayakan keseimbangan psikis individu. Dengan demikian, individu dengan komitmen organisasional tinggi lebih memiliki daya tahan psikologis, adaptif, merasa mampu mengendalikan situasi, jauh dari perasaan tidak berdaya, serta memiliki dukungan kelompok yang dapat bermanfaat dalam menghadapi stres di lingkungan kerja.
Robbins (1998) mengemukakan bahwa sumber-sumber stressor kerja salah satunya adalah faktor organisasional yaitu Tekanan untuk menghindari kekeliruan atau menyelesaikan tugas dalam kurun waktu yang terbatas, beban kerja yang berlebihan, pimpinan yang selalu menuntut dan tidak peka, komitmen, serta rekan kerja yang tidak menyenangkan.
Berdasarkan penjelasan diatas maka sangat penting adanya kondisi yang sehat dalam suatu organisasi, kondisi sehat ini meliputi kondisi karyawan dan organisasi yang stabil. Apabila karyawan dalam organisasi tersebut tidak sehat, dalam hal ini mengalami stres kerja maka karyawan tersebut tidak mampu berkomitmen secara organisasional terhadap organisasi sehingga tidak tercapai efisiensi dan efektifitas organisasi.
Dari penjelasan diatas, maka peneliti berasumsi bahwa ada korelasi antara komitmen organisasional dengan stres kerja. Dan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara komitmen organisasional dengan stres kerja tersebut.


TINJAUAN PUSTAKA
Stres Kerja
Menurut Luthans (2001), stres kerja adalah respon adaptif terhadap situasi eksternal, muncul dalam bentuk deviasi fisik, psikofisik, dan perilaku pada organisme/pekerja. Pendapat hampir sempa diungkapkan oleh Carrel (dalam Carrel, Jennings, & Heavrin, 1997), yang menyatakan bahwa stres kerja adalah kesenjangan antara sesuatu yang diterima dengan sesuatu yang diinginkan oleh karyawan, padahal kesenjangan tersebut dianggap penting oleh karyawan. Dampak dari adanya stres kerja dapat mempengaruhi karyawan secara fisik maupun psikologis dan sekaligus mempengaruhi kemampuan karyawan untuk mengatasi stres yang dialami. Stres kerja merupakan salah satu bentuk stres pada umumnya, hanya saja kondisi ini muncui dari interaksi antara individu dengan pekerjaannya. Maka, pemaknaan terhadap stres kerja dapat pula dilakukan melalui kacamata Selye yang membagi tipe stres menjadi dua jenis, yakni, distress dan distress (Stepanyan & Blasoni, 2005 ). Eustress merupakan stres yang dapat bermanfaat positif, menyehatkan, dan membangun bagi kehidupan individu. Adanya stres dapat bermanfaat untuk meningkatkan performansi, membangkitkan kekuatan fisik, meningkatkan efisiensi kinerja jantung, serta mengaktifkan kesadaran individu akan suatu permasalahan sehingga mendorong individu berusaha mencari cara dalam rangka melepaskan diri dari kondisi yang tidak nyaman (Quick, dalam Carrel, Jennings, & Heavrin, 1997). Di sisi yang lain, stres yang seharusnya dapat membawa manfaat juga dapat melemahkan kapasitas fisik maupun psikologis individu dalam rangka mengatasi tekanan-tekanan dari lingkungan, stres jenis ini dikenal dengan istilah distress (Selye, dalam Stepanyan & Blasoni, 2005 ).
Keberadaan stres kerja dapat diketahui melalui terjadinya gejala - gejala pada aspek fisiologis, psikologis, dan perilaku pada seorang pekerja. Robbins (1998) menyatakan bahwa gejala-gejala yang terjadi mencakup :
a. Gejala  fisiologis.  Berbagai  penelitian  menunjukkan  bahwa stres dapat mempengaruhi perubahan dalam metabolisme, misalnya peningkatan detak jantung, pemapasan, menimbulkan sakit kepala, dan serangan jantung serta berbagai gejala fisiologis yang berbeda antara individu satu dengan yang lainnya.
b.Gejala psikologis. Stres dapat menimbulkan ketidakpuasan kerja, ketegangan, kecemasan, mudah marah, kebosanan, dan perilaku suka menunda pekerjaan.
c.Gejala perilaku. Meliputi menurunnya produktivitas, meningkatnya absensi dan turnover, perubahan kebiasaan makan, meningkatnya konsumsi rokok dan alkohol, bicara terlalu cepat, gclisah, dan gangguan tidur. Serupa dengan pendapat di atas, Weiss (Luthans, 2001) menyatakan bahwa stres kerja ditunjukkan dengan adanya penyimpangan-penyimpangan dalam :
a. Kondisi fisik. Stres dapat mempengaruhi kesehatan fisik, tingkat stres yang tinggi diikuti pula oleh tekanan darah tinggi, migrain, bertambahnya kadar gula dalam darah, sulit bernafas, serta gatal-gatal dan eksim.
b. Kondisi   psikologis.   Tingkat   stres   yang   tinggi   mungkin   diikuti   oleh kemarahan, kecemasan, perasaan tidak puas dengan pekerjaan, menurunnya kepercayaan terhadap pekerjaan, kekhawatiran mengenai kerja dan karir, menurunnya komitmen kerja, tegang, bosan, menurunnya kepercayaan diri, menolak atau tidak dapat menerima keadaan, bertambahnya perasaan gagal, dan tidak bahagia, pesimis, jengkel, depresi, dan sikap bermusuhan.
c. Kondisi    perilaku.    Tingkat   stres   yang   tinggi    dapat   menyebabkan penyimpangan perilaku dari fungsi normal seperti perubahan selera makan, gangguan tidur, konsumsi rokok dan minuman keras, produktivitas kerja menurun, absensi dan turnover, konsentrasi buruk, kepekaan terhadap kritik, tidak dapat mengambil keputusan, malas bergaul, menjauhkan diri dari pergaulan, dan sulit menjalin persahabatan.
Selain itu Luthans (2001) merangkum faktor penyebab stres kerja bersumber dari luar organisasi, dalam organisasi, kelompok, dan dari dalam individu. Antara lain:
a. Stresor dari luar organisasi. Stres kerja timbul dari hasil interaksi antara faktor eksternal dan faktor internal individu, kondisi dari luar organisasi merupakan salah satu faktor eksternal yang memiliki tingkat tekanan tertentu dan sangat mungkin akan terbawa oleh individu dalam lingkungan kerja. Meliputi perubahan sosial dan teknologi, perubahan tempat tinggal, kondisi keluarga, kondisi keuangan dan perekonomian, ras dan golongan, kondisi tempat tinggal dan lingkungan masyarakat.
b. Stresor dari dalam organisasi. Persaingan keras dengan organisasi kompetitor kerapkali   mendorong   organisasi   untuk  melakukan   berbagai   perubahan internal. Perubahan ini dapat terjadi secara terus menerus dan mungkin pula bersifat radikal, untuk itu diperlukan proses adaptasi bagi individu pendukung organisasi. Bagi individu yang tidak memiliki kesiapan dan kemampuan bertahan, maka proses ini dapat memberikan tekanan luar biasa di lingkungan kerja.   Stresor   dalam   organisasi   ini   meliputi,   kebijakan   dan   strategi administrasi, struktur dan desain organisasi, proses organisasi, kondisi kerja,tanggung jawab, hambatan dalam menyuarakan keluhan, kurang pemahaman, ataupun pembagian tugas yang tidak baik.
c. Stresor kelompok. Sebagai mahluk sosial, karyawan memiliki kebutuhan untuk berafiliasi dengan lingkungan sekitar, adanya hambatan dalam pemenuhan kebutuhan ini dapat memberikan tekanan tersendiri bagi karyawan bersangkutan.
d. Stresor individu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kemunculan stres kerja dipengaruhi oleh dimensi situasional dan disposisi individual.
Robbins (1998) menyatakan faktor-faktor yang dapat menjadi sumber potensial stres kerja di perusahaan antara lain :
a.   Faktor lingkungan. Kondisi ekstemal di luar organisasi memiliki tekanan tertentu bagi individu, dan bila tekanan ini terbawa ke dalam lingkungan keija maka   dapat    mempengaruhi    tinggi    rendahnya   stres   kerja    individu bersangkutan. Meliputi, ketidakpastian ekonomi, politik, maupun teknologi.
b.   Faktor organisasi. Situasi kerja sehari-hari selama berlangsung kegiatan organisasi  terkandung  berbagai  tekanan  yang terus  menerus dirasakan individu, tekanan ini dapat mengakibatkan stres kerja apabila tidak dikelola dengan baik. Meliputi, tuntutan tugas, tuntutan peran, tuntutan antar personal, struktur organisasi, kepemimpinan, serta tahap kehidupan organisasi.
c. Faktor individual. Individu selama menjalani kehidupan tentu memiliki berbagai masalah personal, apabila hal ini terakumulasi dengan beraneka tekanan di tempat kerja maka dapat mengakibatkan meningkatnya stres kerja. Meliputi masalah keluarga, masalah perekonomian, serta kepribadian.
Gagasan lebih luas dikembangkan oleh Davis & Newstrom (1989), mereka menyatakan bahwa hampir seluruh kondisi kerja dapat menimbulkan terjadinya stres kerja. Terjadinya stres kerja pada dasamya tergantung pada persepsi dan reaksi karyawan terhadap kondisi tersebut. Sejalan dengan pendapat diatas, Arsenault & Polan (1983) menyatakan bahwa semua kondisi kerja dapat menjadi penyebab stres kerja jika dinilai dan dipersepsikan sebagai ancaman.
Komitmen Organisasional
Carrel, Jenning, & Heavrin (1997) menyatakan bahwa komitmen organisasional adalah suatu sikap yang ditunjukkan dengan seberapa luas seseorang terlibat dengan organisasi dan tidak berkeinginan untuk meninggalkannya. Batasan dari Mowday, Porter, & Steers (Carrel, Jenning, & Heavrin, 1997), komitmen organisasional adalah kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi dan terlibat di dalamnya. Sedangkan Steers (Muchinsky, 1993) mendefinisikan komitmen organisasional adalah kekuatan relatif dari identifikasi individu untuk terlibat dalam organisasi tertentu. Lebih lanjut, Steers (Kuntjoro, 2002) juga berpendapat bahwa komitmen organisasi merupakan kondisi dimana pegawai sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya.
Kuntjoro (2002) menyatakan bahwa konsep komitmen organisasional dari Mowday, Porter & Steers lebih dikenal sebagai pendekatan sikap terhadap organisasi. Komitmen organisasional ini memiliki dua komponen, yaitu sikap dan kehendak untuk bertingkah laku. Sikap mencakup:
a. Identifikasi dengan organisasi yaitu penerimaan tujuan organisasi, penerimaan ini merupakan dasar komitmen organisasional. Identifikasi pegawai tampak melalui sikap menyetujui kebijaksanaan organisasi, kesamaan nilai pribadi dan nilai-nilai organisasi, rasa kebanggaan menjadi bagian dari organisasi.
b. Keterlibatan sesuai peran dan tanggungjawab pekerjaan di organisasi tersebut. Pegawai yang memiliki komitmen organiasional tinggi akan menerima hampir semua tugas dan tanggungjawab pekerjaan yang diberikan padanya.
c. Kehangatan, afeksi dan loyalitas terhadap organisasi merupakan evaluasi terhadap komitmen, serta adanya ikatan emosional dan keterikatan antara organisasi dengan pegawai. Pegawai dengan komitmen organisasional tinggi merasakan adanya loyalitas dan rasa memiliki terhadap organisasi.
Komitmen organisasional sangat berhubungan dengan perilaku individu dalam lingkungan kerja. Tingginya tingkat komitmen organisasional memberikan kontribusi pada rendahnya tingkat ketidakhadiran dan turnover, mengurangi tuntutan untuk mencari posisi baru, serta individu akan menunjukkan usaha dan penampilan kerja yang lebih stabil dan produktif (Carrel, Jenning, & Heavrin, 1997). Individu yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi memiliki kondisi: lebih mampu beradaptasi, raj in dalam bekerja, serta memiliki kepuasan kerja lebih tinggi (Angle & Perry; Bateman & Stresser, dalam Muchinsky, 1993). Dari beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasional adalah suatu sikap yang menunjukkan kekuatan relatif seorang individu mengidentiflkasikan dirinya dengan organisasi, terlibat dalam organisasi, organisasional tinggi akan lebih mampu beradaptasi, memiliki kepuasan kerja lebih tinggi, dan lebih rajin dalam bekerja.
Mengenai aspek-aspek dari komitmen organisasi banyak tokoh yang berpendapat tentang aspek-aspek komitmen organisasi tersebut. Mowday, Porter, dan Steers (Carrel, Jenning, & Heavrin, 1997) menyatakan bahwa, komitmen organisasional seorang anggota dapat ditunjukkan dengan adanya :
a.    Keyakinan yang kuat kepada organisasi, serta adanya penerimaan terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi.
b.   Kehendak untuk mengerahkan usaha maksimal bagi organisasi, yaitu kesiapan dan  kesedian   individu  untuk  berusaha  dengan  sungguh-sungguh   demi kepentingan organisasi.
c.    Keinginan untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi, yaitu keinginan individu untuk tetap dapat menjadi bagian dari organisasi saat ini.
Allen dan Meyer (Riggio, 2003) mengemukakan bahwa komitmen organisasi memiliki aspek-aspek sebagai berikut:
a.    Continuance Commitment, berarti komitmen berdasarkan persepsi karyawan untuk tetap  melanjutkan  keanggotaannya dalam  organisasi  dikarenakan pertimbangan tentang kerugian yang akan dihadapinya jika meninggalkan perusahaaan.
b.   Affective   commitment,   berkaitan   dengan   emosional,   identifikasi   dan keterlibatan individu di dalam suatu perusahaan.
c. Normative commitment, merupakan komitmen yang meliputi perasaan-perasaan karyawan tentang kewajiban dan tanggung jawab yang harus diberikan kepada perusahaan, sehingga karyawan tetap tinggal pada perusahaan karena merasa wajib untuk loyal terhadap perusahaan.
Sedangkan Porter dkk (Riggio, 2003) menjabarkan tiga aspek yang terkait dalam komitmen organisasi, yaitu :
a.Penerimaan  terhadap  tujuan  dan  nilai-nilai  organisasi.  Karyawan  dapat mengikuti maksud dan tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan.
b.Kemauan  mengerahkan  usaha  dan  upaya  untuk  kepentingan  organisasi tercermin dalam usaha karyawan untuk menerima dan melaksanakan setiap tugas-tugas dan kewajiban yang dibebankan kepadanya.
c.Keinginan yang kuat untuk tetap tinggal dalam organisasi. Karyawan akan tetap berusaha bertahan untuk tetap bekerja di perusahaan serta tetap untuk menjadi anggota atau bagian dari organisasi.
Terdapat pula Empat hal yang dipandang mempengaruhi tinggi rendahnya komitmen organisasional antara lain:
a.  Karakteristik individu. Yaitu atribut-atribut yang terdapat pada masing-masing individu, antara lain, usia, senioritas, ataupun kepuasan kerja individu bersangkutan (Carrel, Jenning, & Heavrin, 1997). Godkin (dalam Fukami & Larson, 1984) menyatakan bahwa, motivasi keterlibatan seseorang dalam suatu organisasi mempunyai hubungan positif terhadap organisasi.
b.   Karakteristik kerja. Yaitu berbagai hal yang terkait dengan kerja itu sendm (Carrel, Jenning, & Heavrin,  1997). Menurut Winter (Fukami & Larson, 1984) mengungkapkan bahwa kejelasan tugas, tantangan pekerjaan, kesempatan untuk berinteraksi sosial, identitas tugas, dan adanya feedback yang berkorelasi dengan tugas, serta karakteristik tugas yang jelas akan meningkatkan komitmen organisasional.
c.   Karakteristik  struktural.  Yaitu  terkait  dengan  sistem  atau  seting  yang diterapkan oleh organisasi (Carrel, Jenning, & Heavrin,  1997). Struktur organisasi yang menunjukkan adanya kejelasan tugas dan tanggung jawab, serta penghargaan secara adil pada setiap anggota organisasi akan menumbuhkan rasa loyal dan tanggung jawab, sehingga dapat berpengaruh pada komitmen organisasional.
d. Kesempatan untuk memperoleh pekerjaan lain. Semakin besar kesempatan yang dimiliki individu untuk memperoleh altematif pekerjaan lain maka akan semakin menurunkan komitmen organisasional individu bersangkutan (Carrel, Jenning, & Heavrin, 1997).
Beberapa karakteristik pribadi dipandang memiliki hubungan dengan komitmen, menunit Porter & Steers (1983), karakteristik tersebut diantaranya:
a.Usia dan masa kerja. Usia dan masa kerja menunjukkan korelasi positif dengan komitmen organisasional.
b.Tingkat Pendidikan. Makin tinggi tingkat pendidikan, makin banyak pula harapan individu yang mungkin tidak bisa diakomodir oleh organisasi, sehingga komitmennya semakin rendah, dan sebaliknya.
c.Lingkungan dan pengalaman kerja. Keduanya merupakan kekuatan sosialisasi utama yang mempengaruhi komitmen terhadap organisasi. Individu dapat memperbandingkan dengan organisasi lain, memahami apakah organisasi telah sesuai dengan harapan dan dapat menjadi sarana mewujudkan cita-cita.
Hubungan antara Komitmen Organisasional dan Stres Kerja
Komitmen organisasional adalah suatu sikap yang menunjukkan kekuatan relatif seorang individu mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi, terlibat dalam organisasi, dan adanya loyal itas individu terhadap organisasi. Komitmen organisasional merupakan hubungan individu dengan organisasi secara aktif saling mempengaruhi satu sama lain, tujuan, nilai, dan sasaran pada suatu organisasi mungkin dapat membangkitkan ketertarikan individu, dan berawal dari ketertarikan itu individu memutuskan untuk memberikan komitmennya pada organisasi bersangkutan. Pegawai yang menunjukkan komitmen tinggi memiliki keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih dalam menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja (Kuntjoro, 2002).
Dalam pandangan peneliti setidaknya terdapat empat alasan bagaimana komitmen organisasional dapat mempengaruhi stres kerja sebagai berikut:
Pertama, adanya komitmen organisasional berpengaruh pada terbentuknya daya tahan psikologis yang lebih kuat pada individu bersangkutan, dimana daya tahan psikologis merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat stres kerja. Hal ini sejalan dengan penelitian yang diungkapkan oleh Kobasa (Luthans, 2001) bahwa, salah satu ciri individu yang memiliki daya tahan psikologis ditunjukkan dengan adanya komitmen pada diri individu tersebut
Kedua, tingginya komitmen organisasional mendorong individu untuk selalu terlibat dengan kegiatan perusahaan, keterlibatan ini akan memberikan perasaan mampu mengendalikan situasi karena selama menjalani proses keterlibatan dalam kegiatan organisasi individu bersangkutan akan belajar memahami bagaimana dirinya memiliki peran terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam organisasi. Hal ini sekaligus akan menekan perasaan tidak berdaya individu, perasaan mampu mengendalikan situasi dan perasaan tidak berdaya merupakan faktor individual penyebab stres kerja (Luthans, 2001).
Ketiga, keterlibatan yang ditunjukkan oleh individu yang berkomitmen organisasional tinggi akan membuka kesempatan terjadinya interaksi dengan individu yang lain selama bekerja bersama dalam kegiatan organisasi. Interaksi ini akan memungkinkan individu bersangkutan untuk masuk dan diterima oleh kelompok di tempat kerja. Dengan demikian individu tersebut mendapatkan pemenuhan kebutuhan akan ketenkatan dengan suatu kelompok serta kebutuhan akan dukungan sosial yang memiliki arti penting dalam meredam stres kerja (Luthans, 2001).
Keempat, individu yang memiliki komitmen organisasional tinggi memiliki kepuasan kerja lebih tinggi, serta lebih mampu beradaptasi (Angle & Perry; Bateman & Stresser; dalam Muchinsky, 1993), kemampuan beradaptasi ini memungkinkan individu bersangkutan untuk mengembangkan perilaku yang lebih akomodatif dalam merespon tekanan-tekanan di lingkungan kerja sehingga tidak memberikan dampak berbahaya bagi keseimbangan psikis individu tersebut.
Dinamika diatas menunjukkan bahwa variabel komitmen organisasional ditengarai memiliki kaitan dengan tingkat stres kerja individu. Individu yang memiliki komitmen organisasional tinggi akan cenderung menunjukkan perilaku-perilaku serta sikap mental yang secara tidak langsung akan dapat menciptakan lingkungan psikis maupun lingkungan sosial yang kondusif bagi individu bersangkutan dalam menghadapi stresor di lingkungan kerja. Sehingga pada diri individu yang memiliki komitmen organisasional tinggi akan cenderung mengalami stres kerja rendah.
Hipotesis
Ada hubungan negatif antara komitmen organisasional dengan stres kerja. Semakin tinggi komitmen organisasional karyawan maka semakin rendah stres kerjanya, dan sebaliknya, semakin rendah komitmen organisasional karyawan maka semakin tinggi stres kerjanya.

METODE PENELITIAN
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Stres Kerja sebagai variabel tergantung dan Komitmen Organisasional sebagai variabel bebas. Sedangkan populasi penelitian ini adalah karyawan Waroeng SS (Spesial Sambal) di Yogyakarta, dengan ciri-ciri telah diangkat sebagai karyawan Waroeng SS (Spesial Sambal), berusia 18 tahun keatas, pendidikan terakhir SMA, bekerja di Waroeng SS Yogyakarta lebih dari 1 tahun, baik laki-laki maupun perempuan.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologi yaitu :skala komitmen organisasional dan skala stres kerja. Skala komitmen organisasional disusun berdasarkan teori Mowday, Porter, dan Steers (dalam Carrel, Jenning, & Heavrin, 1997) yang terdiri dari tiga aspek komitmen organisasional yaitu;
a. Keyakinan yang kuat kepada organisasi, serta adanya penerimaan terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi.
b. Kehendak untuk mengerahkan usaha maksimal bagi organisasi, yaitu kesiapan dan   kesedian   individu   untuk   berusaha   dengan   sungguh-sungguh    demi kepentingan organisasi.
c. Keinginan  untuk  mempertahankan  keanggotaannya dalam  organisasi,  yaitu keinginan individu untuk tetap dapat menjadi bagian dari organisasi saat ini.
Skala stres kerja disusun oleh peneliti berdasarkan aspek stress kerja yang dikemukakan oleh Robbins (1998), yaitu :
a.  Gejala   fisiologis.   Berbagai   penelitian   menunjukkan   bahwa  stres   dapat mempengaruhi perubahan dalam metabolisme, misalnya peningkatan detak jantung, pemapasan, menimbulkan sakit kepala, dan serangan jantung serta berbagai gejala fisiologis yang berbeda antara individu satu dengan yang lainnya.
b. Gejala psikologis. Stres dapat menimbulkan ketidakpuasan kerja, ketegangan, kecemasan, mudah marah, kebosanan, dan perilaku suka menunda pekerjaan.
c Gejala perilaku. Meliputi menurunnya produktivitas, meningkatnya absensi dan turnover, penahan kebiasaan makan, meningkatnya konsumsi rokok dan alkohol, bicara terlalu cepat, gelisah, dan gangguan tidur.
Jumah aitem keseluruhan masing-masing skala ini ada 30 aitem yang terdiri dan 15 aitem yang bersifat Favorabel dan 15 aitem yang bersifat Unfavorabel. Menurut Azwar (2007), aitem - aitem soal yang digolongkan sebagai Favourabel adalah aitem - aitem soal yang jawabannya dimulai dengan pilihan jawaban ekstrim positif atau memilih pada obyek sikap. Sedangkan aitem - aitem soal yang jawabannya dimulai dengan pilihan jawaban ekstrim negatif atau tidak memilih objek sikap digolongkan sebagai aitem soal Unfavourabel.
Pemberian   skor pada peryataan favourabel dilakukan dengan cara sebagai berikut: jawaban Sangat Setuju (SS) diberi nilai 4, jawaban Setuju (S) diberi nilai 3, jawaban Tidak Setuju (TS) diberi nilai 2, jawaban Sangat Tidak Setuju (STS) diberi nilai 1. Sedangkan pemberian skor pada peryataan unfavourabel dilakukan cara sebagai berikut: jawaban Sangat Setuju (SS) diberi nilai 1, jawaban Setuju (S) diberi nilai 2, jawaban Tidak Setuju (TS) diberi nilai 3, jawaban Sangat Tidak Setuju (STS) diberi nilai 4.
Validitas yang digunakan untuk skala pada penelitian ini adalah validitas isi (content validity), dan Teknik korelasi yang digunakan adalah teknik korelasi product moment dari Pearson (Azwar, 2000). Rumus yang digunakan untuk mencari koefisien reliabilitas pada masing- masing skala adalah dengan menggunakan analisis formula Alpha Cronbach (Azwar, 2000) dengan bantuan komputer program Seri Program Statistic Statistical Product Service Solution (SPSS 15 for Windows).  Metode analisis data yang digunakan untuk pengujian hipotesis dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik korelasi product moment. Semua data dianalisis dengan menggunakan bantuan komputer Statistical Product Service Solution (SPSS 15 for Windows) untuk mempermudah proses penghitungan statistik.

HASIL PENELITIAN
Data penelitian yang diperoleh meliputi identitas subyek diantaranya minima, inisial, umur, pendidikan terakhir dan lama bekerja. Sebelum dilakukan analisis product moment dari Pearson, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang mencakup uji normalitas sebaran dan uji linearitas hubungan antara kedua variabel.
Uji normalitas sebaran ini dilakukan terhadap dua variabel penelitian, adapun hasil uji normalitas tersebut adalah sebagai berikut:
a.  Hasil uji normalitas sebaran variabel stres kerja adalah normal, diperoleh skor K-S Z = 0,723 dengan nilai p = 0,672 (p>0,05).
b.  Hasil uji normalitas sebaran variabel komitmen organisasional adalah normal, diperoleh skor K-S Z = 0,945, dengan nilai p = 0,333 (p>0,05).
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa skor kedua skala tersebut mempunyai sebaran normal. Dan hasil analisis uji linieritas, pada tabel linierity diperoleh hasil F = 8,873 dengan p = 0,004 (p<0 span="">maka hubungannya dikatakan linier. Kategorisasi skor stres kerja di atas dapat disimpulkan bahwa stres kerja kelompok penelitian mayoritas berada pada kategori rendah (54,8% dan 84 subyek). Sedangkan pada kategorisasi skor komitmen organisasional, kelompok penelitian berada pada kategori tinggi (70,2 % dan 84 subjek).
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa besarnya koefisien korelasi antara kedua variabel adalah r = -0,301 dengan (p) = 0,003 (p<0 hasil="" span="">penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan, yaitu semakin tinggi komitmen organisasional, maka semakin rendah stres kerja, sehingga hipotesis yang diajukan oleh peneliti diterima. Peneliti juga melakukan analisis untuk mengetahui besarnya sumbangan variabel bebas dalam mempengaruhi variabel tergantung. Hasil analisis menunjukkan bahwa R squared (r2) = 0,090, hal ini menunjukkan bahwa variabel komitmen organisasional memberi sumbangan sebesar 9% terhadap variabel stres kerja.

DISKUSI DAN SARAN
Hasil penelitian menunjukkan diterimanya hipotesis awal yang diajukan oleh peneliti yaitu, bahwa ada hubungan yang negatif antara stress kerja dengan komitmen organisasional. Hasil penelitian ini mendukung teori yang telah diuraikan di bab-bab sebelumnya, bahwa terdapat hubungan negatif antara komitmen organisasional dengan stress kerja
Hubungan antara kedua variabel dapat dijelaskan sebagai berikut Komitmen organisasional adalah suatu sikap yang menunjukkan kekuatan relatif seorang individu mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi, terlibat dalam organisasi, dan adanya loyalitas individu terhadap organisasi. Komitmen organisasional merupakan hubungan individu dengan organisasi secara aktif saling mempenganihi satu sama lain, tujuan, nilai, dan sasaran pada suatu organisasi mungkin dapat membangkitkan ketertarikan individu, dan berawal dari ketertarikan itu individu memutuskan untuk memberikan komitmennya pada organisasi bersangkutan. Pegawai yang menunjukkan komitmen tinggi memiliki keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih dalam menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja (Kuntjoro, 2002).
Terdapat empat alasan bagaimana komitmen organisasi dapat mempengaruhi stres kerja, pertama, adanya komitmen organisasional berpengaruh pada terbentuknya tahan psikologis yang lebih kuat pada individu bersangkutan, dimana daya tahan logis merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat stres kerja. Hal ini sejalan dengan penelitian yang diungkapkan oleh Kobasa (Luthans, 2001) bahwa, salah satu ciri individu yang memiliki daya tahan psikologis ditunjukkan dengan adanya komitmen pada diri individu tersebut.
Kedua, tingginya komitmen organisasional mendorong individu untuk selalu terlibat dengan kegiatan perusahaan, keterlibatan ini akan memberikan perasaan mampu mengendalikan situasi karena selama menjalani proses keterlibatan dalam kegiatan organisasi individu bersangkutan akan belajar memahami bagaimana dirinya memiliki peran terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam organisasi. Hal ini sekaligus akan menekan perasaan tidak berdaya individu, perasaan mampu mengendalikan situasi dan perasaan tidak berdaya merupakan faktor individual penyebab stres kerja (Luthans, 2001)..
Ketiga, keterlibatan yang ditunjukkan oleh individu yang berkomitmen organisasional tinggi akan membuka kesempatan terjadinya interaksi dengan individu yang Iain selama bekerja bersama dalam kegiatan organisasi. Interaksi ini akan memungkinkan individu bersangkutan untuk masuk dan diterima oleh kelompok di tempat kerja. Dengan demikian individu tersebut mendapatkan pemenuhan kebutuhan akan keterikatan dengan suatu kelompok serta kebutuhan akan dukungan sosial yang memiliki arti penting dalam meredam stres kerja (Luthans, 2001).
Keempat, individu yang memiliki komitmen organisasional tinggi memiliki kepuasan kerja lebih tinggi, serta lebih mampu beradaptasi (Angle & Perry; Bateman & Stresser, dalam Muchinsky, 1993),   kemampuan beradaptasi ini memungkinkan individu bersangkutan untuk mengembangkan perilaku yang lebih akomodatif dalam merespon tekanan-tekanan di lingkungan kerja sehingga tidak memberikan dampak berbahaya bagi keseimbangan psikis individu tersebut.
Melihat nilai sumbangan efektif yang hanya sebesar 9 %, berarti masih banyak faktor-faktor lain (91%) yang dapat mempengaruhi stres kerja. Berdasarkan pembahasan di bab kedua yang disebutkan oleh Robbins (1998), ada beberapa faktor yang mungkin dapat mempengaruhi stres kerja diantaranya adalah a) faktor dari luar organisasi dan lingkungan; b) faktor dari dalam organisasi; c) kelompok; d) faktor individual. Dalam penelitian ini, faktor yang paling dominan mempengaruhi stres kerja pada karyawan Waroeng SS adalah faktor dari dalam organisasi dan kelompok.
Berdasarkan hasil analisis yang ada maka peneliti memberikan beberapa saran sebagai berikut:
1.  Bagi Subyek Penelitian. Para karyawan hendaknya lebih meningkatkan komitmen organisasinya, yaitu dengan lebih yakin terhadap perusahaan serta lebih menerima tujuan dan nilai -nilai yang ada dalam perusahaan. Dengan demikian karyawan akan lebih merasa nyaman dan senang bekerja di waroeng SS dan akan mengerahkan usaha maksimal   bagi   perusahaan.   Adanya  rasa  senang  dan   kecintaan   terhadap perusahaan diharapkan dapat mengurangi tingkat stres kerja yang dimiliki oleh karyawan.
2. Bagi Pihak Manajerial Waroeng SS. Hendaknya lebih meningkatkan komitmen organisasional yang dimiliki oleh karyawan yaitu dengan memperjelas struktur organisasi yang di tunjukkan dengan kejelasan tugas dan tanggung jawab, serta penghargaan secara adil pada tiap karyawan dan juga lebih membuka kesempatan terjadinya interaksi dengan karyawan yang lain selama berkerja bersama di Waroeng SS, karena hal ini diharapkan juga dapat menurunkan tingkat stres yang dimiliki oleh karyawan.
3. Bagi peneliti yang akan datang. Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti topik tentang stres kerja diharapkan dapat    mempertimbangkan variabel lain yang dapat memberikan pengaruh terhadap stres kerja pada karyawan, peneliti juga dapat menggunakan subyek yang berbeda, teknik pengambilan sampel yang berbeda atau menambah variabel yang terkait dengan stres kerja dan komitmen organisasi. Selain hal diatas, hendaknya sebelum melakukan penelitian disarankan juga untuk lebih banyak melakukan observasi dan wawancara kepada subyek, hal ini dilakukan ituk memperoleh data awal yang lebih detail dan mendalam.


DAFTAR PUSTAKA

Achmad Sobirin (2005), Privastisasi: implikasinya terhadap Perubahan Perilaku Karyawan dan Budaya Organisasi, Jurnal Siasat Bisnis, Edisi khusus JSB on Human Resources, Magister Manajemen UII, hal. 19-42.
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Azwar. S. 2000. Validitas dan Reliabilitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Azwar. S. 2007. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bandoro, B. 2004. Globalisasi, Demokrasi, dan Politik Luar Negeri Indonesia, dalam Analisis CSJS: Tantangan Pemerintah Baru Setelah 100 Hari. Volume 33, no 4, Desember, hal. 525-535.
Carrel, M. R.; Jenning, D. F.; dan Heavrin, C. 1997. Fundamental of Organizational Behavior (International edition). New Jersey. Prentice Hall Inc.
Cartwright, S. and C.L. Cooper (1993b), Of Mergers, Marriage and Divorce: The Issues of Staff Retention, Journal of Managerial Psychology. 8(6), pp. 7-10.
Davis, K. 1977. Organizational Behavior : Human Behavior at Work (4* edition). New Delhi.. Tata McGraw-Hill Publishing co. ltd.
Davis, K, dan Newstrom, J.W. 1989. Human Behavior at Work (8? edition). New York.. McGraw-Hill Books, co.
Fukami, C.W. dan Larson, E.W. 1984. Commitment to Company and Union Paralel Models. Journal of Applied Psychology. 12 (3). p. 367-370.
Hanim, L. 2005. Asia Afrika 50 Tahun Masihkah Semangat Merdeka Tersisa? Diakses tanggal 26 Desember 2008, dari www, elobaliust. or%.
Kuntjoro, Z. S. 2002. Komitmen Organisasi. Diakses tanggal 26 Desember 2008, dari www. e-psikologi. com.
Luthhans, F. 2001. Organizational Behavior (9^ edition). New York. McGraw-Hill, Inc.
Muchinsky, P. M,  1993. Psychology Applied to Work (4th edition).. New York. Brooks/ Cole Publishing Company.
Riggio, R. E..2OO3. Introduction to Indrustrial / Organzational Psychology. USA : Person Education. Inc.
Robbins, S. P. 1998. Organizational Behavior : Concept, Controversies & Application. New Jersey. Prentice Hall Inc.
Sauter. S.: Murphy. L.; Colligan. M.; Swanson, N.; Scharf, F.; Sinclair, R.; Grubb, P.; Goldenhar. L.; Alterman, T.; Johnston, J.; Hamilton, A.; Tisdale, J. 2005. Srre_w at Work. Diakses tanggal 26 Desember 2008, dari  www.ctde.gov nioshstresy»k.html.
Steers. R.M. dan Porter. L.W. 1983. Motivation and Work Behavior. New York. Join Hill Boole
Stepanyan, M, dan Blasoni,P. 2005 Stress Among Farmers in Brittiany (France):Myth Or JteattyiLTlOPRAMILyAESCULAPIUS.The National School of PabBc Health Jlames. France
Thamrin, M. H. 1996. Apakah Klausa Sosial ada.ih Jernba^n antara Perdagangan Bebas (fan Buruh? dalam Analisis CSIS: Klausa Sosial dan Perdagangan  XXV, no. 4. Juli-Agusns, hal. 304-313.


 Jurnal ini sudah dipublikasikan pada Jurnal Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta (Vol 7, September 2011)

Dewi Handayani

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

2 komentar: